”Di
atas batu ini saya meletakkan peradaban orang Papua, sekalipun orang
memiliki kepandaian tinggi, akal budi dan marifat tetapi tidak dapat
memimpin bangsa ini, bangsa ini akan bangkit dan memimpin dirinya
sendiri,” oleh Pdt. I.S. Kijne, Wasior-Manokwari, tanggal 25 Oktober 1925.
BICARA soal pendidikan di Indonesia
pasti tidak ada ujungnya. Pernyataan itu kerap muncul di kalangan
terpelajar seperti organisasi-organisasi gerakan mahasiswa dan
masyarakat. Pendidikan di Indonesia hari ini punya banyak kontroversi,
lebih-lebih di kalangan elit institusi pendidikan di Indonesia. Satu
hal menarik yang akan saya angkat dalam tulisan ini adalah soal situasi
pendidikan di Papua dari kacamata negatif, dalam arti dampak yang
kerap timbul dan berakar di Papua. Di samping itu, tulisan ini hendak
menunjukkan proses menuju pemusnahan manusia Papua lewat pendidikan.
Pemusnahan ini diartikan sebagai sebuah proses luntur dan hilangnya
manusia Papua yang sesungguhnya.
Sebelumnya, saya sepakat dengan tulisan Johanes Supriyono berjudul “Pendidikan di Papua, Masalah Serius.”[1]
Benar, pendidikan di Papua saat ini adalah masalah kompleks yang
serius. Ada beberapa poin penting yang sudah diuraikan di dalam tulisan
tersebut, soal kisah klasik pendidikan Papua, seperti cerita-cerita
tentang gedung sekolah yang reyot, jumlah guru yang sedikit, dan
minimnya ketersediaan buku-buku pelajaran di pedalaman. Kisah seperti
ini dimiliki bukan saja oleh generasi sekarang. Generasi-generasi
sebelumnya sudah lebih dulu mengalami.
Tidak
banyak yang berbeda dari foto-foto gedung sekolah dasar di pedalaman
Papua pada tahun 1980’an dengan yang ada sekarang ini. Boleh jadi,
sepanjang sejarah berdirinya sekolah-sekolah di pedalaman, yang punya
perpustakaan bisa dihitung jari. Profil sekilas murid-murid pun sama:
sedikit yang mengenakan sepatu, seragam yang kumal, dan lusuh. Jumlah
guru tidak bertambah secara signifikan. Bahkan, sekolah-sekolah di
pedalaman Papua pada umumnya kekurangan guru.
Hal
lain yang disinggung Supriyono adalah soal semangat pendidikan untuk
pembebasan yang belum jadi semangat pendidikan kita. Semangat
pendidikan ini antara lain ditandai lewat pemberian ruang utama untuk
pengetahuan lokal. Peserta didik dibimbing untuk mengenali dirinya:
sejarah, tanah kelahiran, silsilah, dan segala macam pengetahuan yang
paling dekat dengan mereka. Semangat pembebasan diawali dengan mengenal
diri sendiri dan perlahan mulai mengenali yang lain. Dengan demikian,
anak-anak pun pada masanya akan mengerti secara lebih utuh diri mereka
sendiri. Tanpa ruang untuk memahami diri sendiri, pendidikan bagi
anak-anak Papua hanya akan membuat mereka jadi orang lain.
Dalam
konstruksi pendidikan di Papua saat ini, di samping kedua masalah
mendasar tadi, banyak juga masalah pendidikan yang mendera segala lini
kehidupan manusia Papua. Tetapi yang mendasar adalah bagaimana untuk
mencerdaskan manusia Papua untuk mengenali diri mereka.
Lalu
bagaimana kita melihat proses masalah pendidikan yang saat ini dialami
oleh orang Papua? Masalah ini adalah masalah riil yang saya sendiri
alami. Beberapa poin penting yang perlu kita simak untuk menjawab
pertanyaan ini adalah benarkah pendidikan di Papua jadi masalah serius
sebab saat ini pendidikan justru menggiring pada proses pemusnahan
manusia Papua? Dari sini kita mencoba untuk melihat titik masalah yang
kerap timbul berdasarkan proses kerja pemerintah Indonesia.
Pemekaran Provinsi, Wilayah dan Kota
Saat
ini, sebab utama dari tidak berkembangnya pribumi Papua adalah akibat
pemekaran kota dan wilayah yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia.
Salah satu momen penting lain dalam sejarah Papua adalah pembagian
“bumi cenderawasih” ini jadi 1 provinsi baru dan puluhan daerah baru.
Dalam kosakata pemerintah disebut pemekaran.
Sejarah
Pemekaran Provinsi Papua dimulai sejak turunnya dua Undang-Undang (UU)
yang sama sekali tidak berjalan, yaitu UU Nomor 45 tahun 1999 tentang
pemekaran provinsi Papua menjadi tiga provinsi yaitu Provinsi Papua,
Papua Tengah dan Papua Barat dan UU Nomor 5 tahun 2000. Setelah gagal
dalam memberlakukan kedua UU tersebut, untuk meredam perjuangan
nasionalisme Papua untuk merdeka, Pemerintah Indonesia mengeluarkan UU
Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua (UU Otsus)
yang ditandangani Presiden Indonesia ketika itu, Megawati Soekarno
Putri dan mulai diberlakukan pada 21 November 2001.[2]
Namun hingga saat ini, Provinsi Papua hanya dibagi menjadi dua
provinsi besar, yaitu Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Tetapi
untuk Papua Barat menjadi dasar pemekaran yang dibentuk tanpa payung
hukum yang jelas.
Yang perlu
dipahami di sini adalah, terbaginya kesatuan pulau Papua adalah bukti
lain dari terkikisnya integrasi orang Papua dalam bentuk yang berbeda.
Pemekaran wilayah dan kota menjadikan orang Papua susah untuk berpikir
ke depan akan nasib mereka yang memiliki banyak pemimpin dan impian
luhung. Saat ini Provinsi Papua yang besar terbagi jadi dua provinsi
besar yang sama-sama menjalankan peran dan fungsi pemerintahan
sendiri-sendiri. Kalau kita tinjau dari sejarah orang Papua, kesatuan
kebudayaan dari 250 lebih suku yang mengayomi pulau Papua membenarkan
integritas dan kesatuan yang masih terbangun. Dampak terpecah-belahnya
provinsi, daerah dan kota menjadikan orang Papua tidak mampu bersaing
dengan arus globalisasi yang serba cepat datangnya.
Disamping
itu, pulau Papua sendiri dibagi menjadi puluhan kabupaten dan kota.
Dampak negatif utama arus modern yang menimpa masyarakat jauh melebihi
yang diterima masyarakat di luar Papua seperti: Jawa, Sumatera,
Kalimantan dan lain-lain. Contoh riil seperti di wilayah saya sendiri
di Mee-pago. Wilayah Mee-pago dihuni oleh satu suku besar, yaitu suku
Mee yang menjalani hidup dengan sistem kekerabatan yang memberikan
kesejahteraan bagi suku Mee. Namun setelah diperluas jadi lima
kabupaten, konflik internal pun terjadi hingga saat ini. Dengan
permasalahan batas wilayah ditambah konflik perebutan jabatan antar elit
politik. Masyarakat asli sendiri tidak mampu bersaing dengan orang
non-Papua yang datang hanya mencari nafkah dengan membuka usaha-usaha
mereka. Keterbelakangan langgeng disebabkan sistem pemekaran yang dibuat
oleh pemerintah pusat. Orang Papua dimanfaatkan untuk kepentingan elit
politik semata.
Pemekaran juga
membikin orang Papua menjadi malas untuk berkebun, membuka usaha
sendiri, menjadi pendidik, dan lain-lain. Sistem pemekaran membuat
orang Papua jauh meninggalkan kebudayaannya sendiri. Hal penting
lainnya setelah pemekaran, orang asli Papua sendiri dibentuk untuk
berlomba masuk ke dalam birokrasi pemerintahan yang ada.
Pemekaran Diterapkan, Guru-Guru Lama di Tarik ke Dinas
Sebelum
pemekaran banyak sekali orang asli Papua yang dididik oleh pemerintah
kolonial Belanda. Pemerintah kolonial Belanda mendorong orang asli
Papua untuk menjadi pendidik dan menularkan ilmunya pada masyarakat.
Setelah Pepera 1969, kepentingan Indonesia dan Amerika bersekongkol
memanipulasi dan merekayasa Pepera tersebut. Proses penyadaran mental
dan intelektual dalam pengetahuan yang didorong Belanda diambil alih
Indonesia. Banyak sekali orang-orang, juga generasi ayah saya, yang
tersingkir.
Setelah Soekarno membuat
Papua menjadi satu provinsi dan lima kabupaten di tanah Papua, banyak
sekali orang asli Papua bekas didikan Belanda yang tidak lagi menjadi
guru. Mereka masuk ke dalam birokrasi pemerintahan pada waktu itu.
Sampai saat ini orang Papua dalam sistem pendidikan sangat terjajah
oleh peran pemerintah yang begitu ambisius melakukan suatu hal yang
bertentangan dengan nilai dan budaya orang Papua setempat. Contoh
riilnya di Mee-pago, ayah teman saya, seorang guru yang sudah mengajar
pada tahun 1970’an hingga tahun 2009. Setelah 2010, akibat pemekaran
wilayah dan kota dibuat oleh pemerintah Indonesia, ia tidak lagi
mengajar di sekolah yang dulunya dia mengabdi.
Contoh
lainnya, di Mee-pago. Pasca pemekaran guru-guru yang lama semua
ditarik ke dinas. Hingga saat ini sekolah tersebut hampir ditutup
karena tidak ada guru yang mau mengajar. Gedung sekolah pun tidak sama
seperti gedung sekolah yang ada di perkotaan dan pedesaan. Hal ini
terjadi akibat program pemerintah melalui pemekaran yang memecah-belah
proses pendidikan secara sistematis.
Pemekaran Diterapkan, Orang Papua Dibentuk Untuk Tidak Mau Menjadi Guru
Pemekaran
dibuat oleh pemerintah Indonesia, setelah itu orang Papua dibentuk
untuk tidak tertarik menjadi guru. Hal ini terjadi di generasi orang
asli Papua saat ini. Korbannya jelas generasi muda Papua. Para murid
itu yang pada dasarnya punya hak mendapatkan pendidikan dan pengajaran
yang layak[3].Saat
ini, seperti yang sudah diuraikan sebelumnya, generasi ayah saya
menjadi korban pemekaran, dan generasi saat ini mendapatkan hal yang
sama. Pemekaran memberikan ruang yang besar tetapi sistem kerja
imperialis membenarkan pembunuhan karakter dan watak orang Papua melalui
kerja pemekaran yang dibuat secara sistematis.
Meski
lapangan pekerjaan mulai tersedia, hampir semua orang, termasuk orang
dari luar Papua berlomba menjadi pegawai negeri sipil atau pekerjaan
dinas lainnya di Papua. Lapangan pekerjaan malah membunuh kebudayaan
dan relasi sosial orang asli Papua. Misalnya, banyak sekali sanak
saudara saya sendiri yang setelah selesai kuliah dari perguruan tinggi
mengadu nasib ikut pemilihan jadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR), ikut ujian CPNS, hingga lapangan pekerjaan lainnya yang serba
instan yang dibuat oleh pemerintah. Generasi saat ini dibentuk untuk
hidup instan bagai menunggu hujan datang di musim kemarau.
Kurikulum Pendidikan Indonesia yang Bertentangan Dengan Nilai, Budaya, dan Sejarah Orang Papua
Berdasarkan
pengalaman saya mengecap pendidikan dari Sekolah Dasar (SD) hingga
Sekolah menengah Sekolah Menengah Atas (SMA), saya merasa kurikulum
yang ada telah melepaskan orang Papua dari kebudayaan aslinya. Sewaktu
kelas 4 SD, saya sudah diajarkan secara keras untuk belajar tentang
kerajaan-kerajaan di Jawa, tentang kembalinya Papua dalam Indonesia
dari versi Indonesia, belajar tentang kehidupan di Jawa, Sumatera,
Kalimantan dan lain sebagainya. Juga belajar soal sejarah candi-candi,
seperti Candi Borobudur, Candi Kalasan, dan lain sebagainya.
Hal
yang kerap melintas dalam benak saya adalah, apakah yang hidup dahulu
adalah mereka yang sudah saya belajar dari SD hingga SMA? Ataukah
setelah saya selesai sekolah, saya akan dibentuk untuk ikut dengan apa
yang mereka terapkan? Juga, apakah saya tidak mempunyai silsilah dan
budaya? Dan masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan lainnya yang sering
muncul dan terekam dalam ingatan masa lalu saya.
Kalau
seperti ini, sudah jelas proses pemusnahan karakter merujuk pada
hilangnya nalar dan budaya orang Papua. Tentu ini masalah yang merujuk
pada hilangnya identitas diri sebagai orang Papua. Tidak mengenali diri
sendiri, tidak mengenali lingkungan sosial masyarakat Papua, bahkan
tidak mengerti dan memahami eksistensi diri?
Kembali
untuk memahami tulisan Supriyono di atas. Semangat pendidikan yang
membebaskan harus menjadi semangat pendidikan kita. Semangat pendidikan
ini antara lain ditandai dengan pemberian ruang utama untuk
pengetahuan lokal. Sayangnyapendidikan yang membebaskan itu tidak
dirasakan oleh orang Papua sebagai bangsa yang sedang ditindas.
Prospek
nilai dan norma orang Papua tercermin erat dalam nilai-nilai adat yang
mengikat lingkungan sosial orang Papua. Nilai dan norma itu sering
dianggap sebagai suatu kekeliar, sebabnya karena kurikulum pendidikan
pemerintah yang tidak sesuai dengan kearifan lokal orang Papua.
Kehidupan orang Papua diubah untuk tidak mengenali diri sendiri sebagai
orang Papua yang mempunyai identitas otonom. Semenjak SD hingga SMA
saya tidak pernah mendapatkan pendidikan yang bermuatan budaya Papua.
Terkadang
juga kita dipaksakan untuk belajar sejarah orang lain. Misalnya, ini
tidak menyinggung pembaca atau siapa pun tetapi ini nyata dan perlu
untuk kita memahami dan belajar tentang sejarah kemerdekaan Indonesia.
Tidak ada satu pun orang Papua yang menjadi pahlawan proklamator
Indonesia dan kita dipaksakan untuk belajar tentang hal ini. Tetapi
proses sejarah orang Papua yang dimanipulasi oleh Indonesia dan
Soekarno demi kepentingan mereka pun tidak diajarkan kepada orang Papua.
Seakan yang kita belajar di bangku pendidikan hanyalah hasil rekayasa
pemerintah untuk membenarkan bahwa Papua masuk ke Indonesia adalah
murni berkat kemenangan Indonesia. Tetapi kita tidak sadar bahwa PBB,
Amerika Serikat, dan Indonesia bekerja sama demi kepentingan ekonomi
politik, hingga Pepera 1969 direkayasa Indonesia. Banyak sekali orang
Papua yang memperjuangkan kebenaran pada saat itu, dibunuh oleh TNI
(dulu ABRI) melalui aksi-aksi dan penyampaian pendapat yang mereka
lakukan pada saat itu.
Memang,
pendidikan di Papua dalam proses pembelajaran sangat tidak seksi.
Pendidikan di Papua berbasis pada kepentingan kalangan tertentu yang
dibuat oleh pemerintah pusat dengan cara-cara yang sistematis untuk
membunuh dan memusnahkan watak orang Papua secara bertahap. Hingga
sampai saat ini, orang Papua ada yang sudah melupakan budayanya mereka.
Tentang silsilah orang Papua yang sesungguhnya pun sudah dimatikan
dengan penerpaan pendidikan yang sudah di buat oleh pemerintah
Indonesia.
Program SM3T dan Indonesia Mengajar, untuk Siapa?
Beberapa
waktu lalu saya diikutsertakan dalam sebuah pertemuan mewakili
mahasiswa Papua. Pertemuan tersebut membahas pengalaman para sarjana
Indonesia yang ikut Program Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan,
Terluar, dan Tertinggal (SM3T) di seluruh Indonesia. Dalam pertemuan
itu, para sarjana tersebut menceritakan pengalaman mereka ketika
mengajar setahun di tempat mereka mengabdi, satu di antaranya di Papua.
Sebagai orang Papua saya diminta menceritakan kondisi pendidikan di
Papua. Banyak sekali keprihatinan, suka, duka mereka ketika mengajar di
Papua. Mereka menceritakan banyak hal soal kondisi pendidikan riil di
Papua menurut apa yang sudah mereka lihat dari kacamata pendidikan dan
apa yang sudah mereka buat di Papua.
Mereka
menceritakan pengalaman-pengalaman mereka sebelum seleksi SM3T dengan
latihan naik gunung, melewati rawa, melewati sungai, dan masih banyak
lagi. Ada sebuah cuplikan video yang mereka putar pada saat itu dan ini
menarik untuk disimak soal pendidikan yang mereka berikan untuk murid
orang asli Papua. Dalam video itu, beberapa dari mereka mengajarkan
bernyanyi “Gundul-Gundul Pacul”, “Lagu Indonesia Raya”
dan sebuah lagu yang berasal dari daerah Kalimantan. Mereka
mengajarkan tentang pendidikan dan keadaan di luar Papua. Dari
pertemuan ini, setelah berpikir kembali tentang apa yang mereka lakukan
di sana, saya malah menjadi bingung. Apa yang mereka ajarkan di Papua
sangat bertentangan dengan kehidupan dan lingkungan sosial orang Papua
yang sesungguhnya.
Sekarang kembali
pada pemekaran yang dibuat pemerintah Indonesia. Satu alasan penting
yang sudah diuraikan di atas, bahwa setelah adanya pemekaran di Papua
orang asli Papua dibentuk untuk tidak menjadi guru.
Proses itu
diteruskan dengan bergulirnya program pemerintah Indonesia berupa
program transmigrasi besar-besaran mulai dari Orde Lama, Orde Baru,
hingga Reformasi saat ini. Demikian juga dengan program-program seperti
SM3T dan Indonesia Mengajar yang berjalan hingga sampai sekarang. Lalu
bagaimana dengan generasi Papua yang mau menjadi guru dan mengajarkan
tentang pola kehidupan mereka sendiri? Ini menjadi pertimbangan besar
setelah semua dibuat konstruktif dan sistematis oleh pemerintah
Indonesia.
Dari pengalaman yang
sudah diceritakan di atas, -pelajaran yang dapat dipetik adalah
bagaimana guru-guru dari program SM3T dan Indonesia Mengajar menerapkan
pola pendidikan yang bertentangan jauh dari kehidupan sosial budaya
masyarakat yang sesungguhnya. Dan ini menyingkirkan dan memerosotkan
nilai, budaya, dan sejarah orang Papua yang sesungguhnya. Apakah yang
harus dipersalahkan adalah model pelatihan mereka sebelum
diberangkatkan? Ataukah mereka harus diseleksi selama satu tahun untuk
mengenali bumi Papua yang sebenarnya? Ini harus dilakukan supaya kita
dapat memahami secara seksama terlebih dahulu kondisi masyarakat dimana
mereka ditempatkan. Memang, pendidikan di Papua sangat tidak
membebaskan.
TNI Menjadi Jawaban Dalam Pendidikan, Ironis!
Sejak
1 Mei 1963, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui UNTEA menyerahkan
Papua kepada Indonesia demi persiapan New York Agreement (Pepera
1969). Tetapi setelah penyerahan tersebut, cepat-cepat Amerika
menandatangani kontrak pertama PT Freeport pada tahun 1967, sebelum
dilakukannya Pepera 1969, tanpa melibatkan orang Papua sebagai pemilik
hal ulayat atas tanahnya sendiri.
Setelah
itu, Tentara Nasional Indonesia (TNI) melakukan penyisiran-penyisiran
dan kekerasan-kekerasan terhadap rakyat Papua, sebelum persiapan Pepera
1969. Hingga tahun 1969, Pepera dilakukan dengan banyak sekali
pelanggaran yang dibuat oleh ABRI (TNI). Hingga Papua diserahkan secara
paksa, masuk ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI).
Dalam sejarah singkat ini,
yang saya mau sampaikan adalah bagaimana kawan-kawan mahasiswa dan
masyarakat non-Papua bisa memahami sejarah orang Papua yang
sesungguhnya. Seperti yang sudah dijelaskan di atas, TNI hadir di atas
tanah Papua menjadi trauma masa lalu orang Papua yang dilakukan pada
Mei 1963, Pepera 1969, bahkan hingga saat ini.
Hampir
di seluruh tanah Papua, TNI jadi aktor pembunuhan. Dengan berbagai
stigma yang mereka berikan hanya karena orang Papua berambut gimbal
maka mestilah ia separatis. Orang Papua yang mengajarkan budaya mereka
dikatakan separatis, orang Papua yang melanggar birokrasi pemerintahan
Indonesia dituduh makar dan lain sebagainya. Bukan hanya TNI, Polri
juga ikut-ikutan melakukan berbagai pelanggaran terhadap kemanusiaa di
Papua.
Ketakutan tersebut berdampak
pada guru-guru orang Papua yang masih tersisa dan disingkirkan oleh
pemerintah Indonesia. Kurangnya jumlah tenaga pengajar di Papua menjadi
dalih bagi TNI untuk menjadi guru pengganti bagi orang asli Papua.
Semua dibuat sistematis dan orang Papua sendiri akan saling menyalahkan
satu sama lain.
Program SM3T dan
Indonesia mengajar di Papua sejalan dengan proses pendidikan yang
dilakukan oleh TNI. Kalau pandangannya seperti ini, maka jelas sekali
bahwa program semacam ini bukanlah jawabannya. L alu mau dikemanakan
orang Papua? Konteks pendidikan membenarkan kenyataan yang realistis
saat ini di Papua. TNI datang mengajar, konsekuensinya guru-guru orang
asli Papua pun tersingkirkan.
Sekarang
kalau diamati, soal pendidikan yang diberikan TNI pada para pelajar
Papua, jauh dari penerapan pendidikan yang sesungguhnya mesti
membebaskan. Pendidikan berkurikulum saja menjadi masalah apa lagi TNI
yang mengajar dengan pola mereka yang represif. Yang diajarkan pun
paling-paling sekedar cara menyanyikan lagu Indonesia Raya, latihan
baris-berbaris, berhitung, dan lain-lain. Semuanya menjauhkan segala
bentuk budaya dan sejarah orang Papua. Kenyataan ini terjadi di
pegunungan Papua, seperti Puncak Papua, Merauke, Puncak Jaya, Wamena,
dan beberapa daerah terpencil lainnya di Papua.
Kesimpulan
Dari
beberapa uraian singkat di atas, jelaslah bahwa pendidikan di Papua
saat ini dalam sebuah proses pemusnahan pada subjek manusia Papua.
Pemusnahan watak, cara, dan perilaku orang Papua dengan berbagai
program, kebijakan, dan Undang-Undang yang dibuat berdasarkan
kepentingan pemerintah Indonesia. Proses panjang tersebut, harus
dipatahkan dengan pendidikan yang membebaskan dan radikal.
Satu
hal penting yang perlu untuk kita orang Papua pahami adalah sama
seperti yang diungkapkan oleh Pdt. I.S. Kijne dikutipan di atas. Sampai
saat ini menjadi keyakinan orang Papua tentang hal ini. Orang Papua
tidak akan berkembang dan bangkit, ketika mereka masih dipimpin orang
lain. (Koteka Son)
Sumber : https://www.facebook.com/notes/koteka-son/pemekaran-dan-proses-pemusnahan-manusia-papua-melalui-pendidikan/119459461767413
Sumber : https://www.facebook.com/notes/koteka-son/pemekaran-dan-proses-pemusnahan-manusia-papua-melalui-pendidikan/119459461767413
Post a Comment