”Di
 atas batu ini saya meletakkan peradaban orang Papua, sekalipun  orang 
memiliki kepandaian tinggi, akal budi dan marifat tetapi tidak  dapat 
memimpin bangsa ini, bangsa ini akan bangkit dan memimpin dirinya  
sendiri,” oleh Pdt. I.S. Kijne, Wasior-Manokwari, tanggal 25 Oktober 1925. 
BICARA soal pendidikan di Indonesia
 pasti tidak ada ujungnya.  Pernyataan itu kerap muncul di kalangan 
terpelajar seperti  organisasi-organisasi gerakan mahasiswa dan 
masyarakat. Pendidikan di  Indonesia hari ini punya banyak kontroversi, 
lebih-lebih di kalangan  elit institusi pendidikan di Indonesia. Satu 
hal menarik yang akan saya  angkat dalam tulisan ini adalah soal situasi
 pendidikan di Papua dari  kacamata negatif, dalam arti dampak yang 
kerap timbul dan berakar di  Papua. Di samping itu, tulisan ini hendak 
menunjukkan proses menuju  pemusnahan manusia Papua lewat pendidikan. 
Pemusnahan ini diartikan  sebagai sebuah proses luntur dan hilangnya 
manusia Papua yang  sesungguhnya.
Sebelumnya, saya sepakat dengan tulisan Johanes Supriyono berjudul “Pendidikan di Papua, Masalah Serius.”[1]
  Benar, pendidikan di Papua saat ini adalah masalah kompleks yang  
serius. Ada beberapa poin penting yang sudah diuraikan di dalam tulisan 
 tersebut, soal kisah klasik pendidikan Papua, seperti cerita-cerita  
tentang gedung sekolah yang reyot, jumlah guru yang sedikit, dan  
minimnya ketersediaan buku-buku pelajaran di pedalaman. Kisah seperti  
ini dimiliki bukan saja oleh generasi sekarang. Generasi-generasi  
sebelumnya sudah lebih dulu mengalami.
Tidak
 banyak yang berbeda dari foto-foto gedung sekolah dasar di  pedalaman 
Papua pada tahun 1980’an dengan yang ada sekarang ini. Boleh  jadi, 
sepanjang sejarah berdirinya sekolah-sekolah di pedalaman, yang  punya 
perpustakaan bisa dihitung jari. Profil sekilas murid-murid pun  sama: 
sedikit yang mengenakan sepatu, seragam yang kumal, dan lusuh.  Jumlah 
guru tidak bertambah secara signifikan. Bahkan, sekolah-sekolah  di 
pedalaman Papua pada umumnya kekurangan guru.
Hal
 lain yang disinggung Supriyono adalah soal semangat pendidikan  untuk 
pembebasan yang belum jadi semangat pendidikan kita. Semangat  
pendidikan ini antara lain ditandai lewat pemberian ruang utama untuk  
pengetahuan lokal. Peserta didik dibimbing untuk mengenali dirinya:  
sejarah, tanah kelahiran, silsilah, dan segala macam pengetahuan yang  
paling dekat dengan mereka. Semangat pembebasan diawali dengan mengenal 
 diri sendiri dan perlahan mulai mengenali yang lain. Dengan demikian,  
anak-anak pun pada masanya akan mengerti secara lebih utuh diri mereka  
sendiri. Tanpa ruang untuk memahami diri sendiri, pendidikan bagi  
anak-anak Papua hanya akan membuat mereka jadi orang lain.
Dalam
 konstruksi pendidikan di Papua saat ini, di samping kedua  masalah 
mendasar tadi, banyak juga masalah pendidikan yang mendera  segala lini 
kehidupan manusia Papua. Tetapi yang mendasar adalah  bagaimana untuk 
mencerdaskan manusia Papua untuk mengenali diri mereka.
Lalu
 bagaimana kita melihat proses masalah pendidikan yang saat ini  dialami
 oleh orang Papua? Masalah ini adalah masalah riil yang saya  sendiri 
alami. Beberapa poin penting yang perlu kita simak untuk  menjawab 
pertanyaan ini adalah benarkah pendidikan di Papua jadi masalah  serius 
sebab saat ini pendidikan justru menggiring pada proses  pemusnahan 
manusia Papua? Dari sini kita mencoba untuk melihat titik  masalah yang 
kerap timbul berdasarkan proses kerja pemerintah Indonesia.
Pemekaran Provinsi, Wilayah dan Kota
Saat
 ini, sebab utama dari tidak berkembangnya pribumi Papua adalah  akibat 
pemekaran kota dan wilayah yang dilakukan oleh pemerintah  Indonesia. 
Salah satu momen penting lain dalam sejarah Papua adalah  pembagian 
“bumi cenderawasih” ini jadi 1 provinsi baru dan puluhan  daerah baru. 
Dalam kosakata pemerintah disebut pemekaran.
Sejarah
 Pemekaran Provinsi Papua dimulai sejak turunnya dua  Undang-Undang (UU)
 yang sama sekali tidak berjalan, yaitu UU Nomor 45  tahun 1999 tentang 
pemekaran provinsi Papua menjadi tiga provinsi yaitu  Provinsi Papua, 
Papua Tengah dan Papua Barat dan UU Nomor 5 tahun 2000.  Setelah gagal 
dalam memberlakukan kedua UU tersebut, untuk meredam  perjuangan 
nasionalisme Papua untuk merdeka, Pemerintah Indonesia  mengeluarkan UU 
Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi  Papua (UU Otsus) 
yang ditandangani Presiden Indonesia ketika itu,  Megawati Soekarno 
Putri dan mulai diberlakukan pada 21 November 2001.[2]
  Namun hingga saat ini, Provinsi Papua hanya dibagi menjadi dua 
provinsi  besar, yaitu Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Tetapi 
untuk  Papua Barat menjadi dasar pemekaran yang dibentuk tanpa payung 
hukum  yang jelas.
Yang perlu 
dipahami di sini adalah, terbaginya kesatuan pulau Papua  adalah bukti 
lain dari terkikisnya integrasi orang Papua dalam bentuk  yang berbeda. 
Pemekaran wilayah dan kota menjadikan orang Papua susah  untuk berpikir 
ke depan akan nasib mereka yang memiliki banyak pemimpin  dan impian 
luhung. Saat ini Provinsi Papua yang besar terbagi jadi dua  provinsi 
besar yang sama-sama menjalankan peran dan fungsi pemerintahan  
sendiri-sendiri. Kalau kita tinjau dari sejarah orang Papua, kesatuan  
kebudayaan dari 250 lebih suku yang mengayomi pulau Papua membenarkan  
integritas dan kesatuan yang masih terbangun. Dampak terpecah-belahnya  
provinsi, daerah dan kota menjadikan orang Papua tidak mampu bersaing  
dengan arus globalisasi yang serba cepat datangnya.
Disamping
 itu, pulau Papua sendiri dibagi menjadi puluhan kabupaten  dan kota. 
Dampak negatif utama arus modern yang menimpa masyarakat jauh  melebihi 
yang diterima masyarakat di luar Papua seperti: Jawa, Sumatera,  
Kalimantan dan lain-lain. Contoh riil seperti di wilayah saya sendiri  
di Mee-pago. Wilayah Mee-pago dihuni oleh satu suku besar, yaitu suku  
Mee yang menjalani hidup dengan sistem kekerabatan yang memberikan  
kesejahteraan bagi suku Mee. Namun setelah diperluas jadi lima  
kabupaten, konflik internal pun terjadi hingga saat ini. Dengan  
permasalahan batas wilayah ditambah konflik perebutan jabatan antar elit
  politik. Masyarakat asli sendiri tidak mampu bersaing dengan orang  
non-Papua yang datang hanya mencari nafkah dengan membuka usaha-usaha  
mereka. Keterbelakangan langgeng disebabkan sistem pemekaran yang dibuat
  oleh pemerintah pusat. Orang Papua dimanfaatkan untuk kepentingan elit
  politik semata.
Pemekaran juga 
membikin orang Papua menjadi malas untuk berkebun,  membuka usaha 
sendiri, menjadi pendidik, dan lain-lain. Sistem pemekaran  membuat 
orang Papua jauh meninggalkan kebudayaannya sendiri. Hal  penting 
lainnya setelah pemekaran, orang asli Papua sendiri dibentuk  untuk 
berlomba masuk ke dalam birokrasi pemerintahan yang ada.
Pemekaran Diterapkan, Guru-Guru Lama di Tarik ke Dinas 
Sebelum
 pemekaran banyak sekali orang asli Papua yang dididik oleh  pemerintah 
kolonial Belanda. Pemerintah kolonial Belanda mendorong orang  asli 
Papua untuk menjadi pendidik dan menularkan ilmunya pada  masyarakat. 
Setelah Pepera 1969, kepentingan Indonesia dan Amerika  bersekongkol 
memanipulasi dan merekayasa Pepera tersebut. Proses  penyadaran mental 
dan intelektual dalam pengetahuan yang didorong  Belanda diambil alih 
Indonesia. Banyak sekali orang-orang, juga generasi  ayah saya, yang 
tersingkir.
Setelah Soekarno membuat
 Papua menjadi satu provinsi dan lima  kabupaten di tanah Papua, banyak 
sekali orang asli Papua bekas didikan  Belanda yang tidak lagi menjadi 
guru. Mereka masuk ke dalam birokrasi  pemerintahan pada waktu itu. 
Sampai saat ini orang Papua dalam sistem  pendidikan sangat terjajah 
oleh peran pemerintah yang begitu ambisius  melakukan suatu hal yang 
bertentangan dengan nilai dan budaya orang  Papua setempat. Contoh 
riilnya di Mee-pago, ayah teman saya, seorang  guru yang sudah mengajar 
pada tahun 1970’an hingga tahun 2009. Setelah  2010, akibat pemekaran 
wilayah dan kota dibuat oleh pemerintah  Indonesia, ia tidak lagi 
mengajar di sekolah yang dulunya dia mengabdi.
Contoh
 lainnya, di Mee-pago. Pasca pemekaran guru-guru yang lama  semua 
ditarik ke dinas. Hingga saat ini sekolah tersebut hampir ditutup  
karena tidak ada guru yang mau mengajar. Gedung sekolah pun tidak sama  
seperti gedung sekolah yang ada di perkotaan dan pedesaan. Hal ini  
terjadi akibat program pemerintah melalui pemekaran yang memecah-belah  
proses pendidikan secara sistematis.
Pemekaran Diterapkan, Orang Papua Dibentuk Untuk Tidak Mau Menjadi Guru
Pemekaran
 dibuat oleh pemerintah Indonesia, setelah itu orang Papua  dibentuk 
untuk tidak tertarik menjadi guru. Hal ini terjadi di generasi  orang 
asli Papua saat ini. Korbannya jelas generasi muda Papua. Para  murid 
itu yang pada dasarnya punya hak mendapatkan pendidikan dan  pengajaran 
yang layak[3].Saat
  ini, seperti yang sudah diuraikan sebelumnya, generasi ayah saya  
menjadi korban pemekaran, dan generasi saat ini mendapatkan hal yang  
sama. Pemekaran memberikan ruang yang besar tetapi sistem kerja  
imperialis membenarkan pembunuhan karakter dan watak orang Papua melalui
  kerja pemekaran yang dibuat secara sistematis.
Meski
 lapangan pekerjaan mulai tersedia, hampir semua orang, termasuk  orang 
dari luar Papua berlomba menjadi pegawai negeri sipil atau  pekerjaan 
dinas lainnya di Papua. Lapangan pekerjaan malah membunuh  kebudayaan 
dan relasi sosial orang asli Papua. Misalnya, banyak sekali  sanak 
saudara saya sendiri yang setelah selesai kuliah dari perguruan  tinggi 
mengadu nasib ikut pemilihan jadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat  
(DPR), ikut ujian CPNS, hingga lapangan pekerjaan lainnya yang serba  
instan yang dibuat oleh pemerintah. Generasi saat ini dibentuk untuk  
hidup instan bagai menunggu hujan datang di musim kemarau. 
Kurikulum Pendidikan Indonesia yang Bertentangan Dengan Nilai, Budaya, dan Sejarah Orang Papua
Berdasarkan
 pengalaman saya mengecap pendidikan dari Sekolah Dasar  (SD) hingga 
Sekolah menengah Sekolah Menengah Atas (SMA), saya merasa  kurikulum 
yang ada telah melepaskan orang Papua dari kebudayaan aslinya.  Sewaktu 
kelas 4 SD, saya sudah diajarkan secara keras untuk belajar  tentang 
kerajaan-kerajaan di Jawa, tentang kembalinya Papua dalam  Indonesia 
dari versi Indonesia, belajar tentang kehidupan di Jawa,  Sumatera, 
Kalimantan dan lain sebagainya. Juga belajar soal sejarah  candi-candi, 
seperti Candi Borobudur, Candi Kalasan, dan lain  sebagainya.
Hal
 yang kerap melintas dalam benak saya adalah, apakah yang hidup  dahulu 
adalah mereka yang sudah saya belajar dari SD hingga SMA? Ataukah  
setelah saya selesai sekolah, saya akan dibentuk untuk ikut dengan apa  
yang mereka terapkan? Juga, apakah saya tidak mempunyai silsilah dan  
budaya? Dan masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan lainnya yang sering 
 muncul dan terekam dalam ingatan masa lalu saya.
Kalau
 seperti ini, sudah jelas proses pemusnahan karakter merujuk  pada 
hilangnya nalar dan budaya orang Papua. Tentu ini masalah yang  merujuk 
pada hilangnya identitas diri sebagai orang Papua. Tidak  mengenali diri
 sendiri, tidak mengenali lingkungan sosial masyarakat  Papua, bahkan 
tidak mengerti dan memahami eksistensi diri?
Kembali
 untuk memahami tulisan Supriyono di atas. Semangat pendidikan  yang 
membebaskan harus menjadi semangat pendidikan kita. Semangat  pendidikan
 ini antara lain ditandai dengan pemberian ruang utama untuk  
pengetahuan lokal. Sayangnyapendidikan yang membebaskan itu tidak  
dirasakan oleh orang Papua sebagai bangsa yang sedang ditindas.
Prospek
 nilai dan norma orang Papua tercermin erat dalam nilai-nilai  adat yang
 mengikat lingkungan sosial orang Papua. Nilai dan norma itu  sering 
dianggap sebagai suatu kekeliar, sebabnya karena kurikulum  pendidikan 
pemerintah yang tidak sesuai dengan kearifan lokal orang  Papua. 
Kehidupan orang Papua diubah untuk tidak mengenali diri sendiri  sebagai
 orang Papua yang mempunyai identitas otonom. Semenjak SD hingga  SMA 
saya tidak pernah mendapatkan pendidikan yang bermuatan budaya  Papua.
Terkadang
 juga kita dipaksakan untuk belajar sejarah orang lain.  Misalnya, ini 
tidak menyinggung pembaca atau siapa pun tetapi ini nyata  dan perlu 
untuk kita memahami dan belajar tentang sejarah kemerdekaan  Indonesia. 
Tidak ada satu pun orang Papua yang menjadi pahlawan  proklamator 
Indonesia dan kita dipaksakan untuk belajar tentang hal ini.  Tetapi 
proses sejarah orang Papua yang dimanipulasi oleh Indonesia dan  
Soekarno demi kepentingan mereka pun tidak diajarkan kepada orang Papua.
  Seakan yang kita belajar di bangku pendidikan hanyalah hasil rekayasa 
 pemerintah untuk membenarkan bahwa Papua masuk ke Indonesia adalah 
murni  berkat kemenangan Indonesia. Tetapi kita tidak sadar bahwa PBB, 
Amerika  Serikat, dan Indonesia bekerja sama demi kepentingan ekonomi 
politik,  hingga Pepera 1969 direkayasa Indonesia. Banyak sekali orang 
Papua yang  memperjuangkan kebenaran pada saat itu, dibunuh oleh TNI 
(dulu ABRI)  melalui aksi-aksi dan penyampaian pendapat yang mereka 
lakukan pada saat  itu.
Memang, 
pendidikan di Papua dalam proses pembelajaran sangat tidak  seksi. 
Pendidikan di Papua berbasis pada kepentingan kalangan tertentu  yang 
dibuat oleh pemerintah pusat dengan cara-cara yang sistematis untuk  
membunuh dan memusnahkan watak orang Papua secara bertahap. Hingga  
sampai saat ini, orang Papua ada yang sudah melupakan budayanya mereka. 
 Tentang silsilah orang Papua yang sesungguhnya pun sudah dimatikan  
dengan penerpaan pendidikan yang sudah di buat oleh pemerintah  
Indonesia.
Program SM3T dan Indonesia Mengajar, untuk Siapa?
Beberapa
 waktu lalu saya diikutsertakan dalam sebuah pertemuan  mewakili 
mahasiswa Papua. Pertemuan tersebut membahas pengalaman para  sarjana 
Indonesia yang ikut Program Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan,  
Terluar, dan Tertinggal (SM3T) di seluruh Indonesia. Dalam pertemuan  
itu, para sarjana tersebut menceritakan pengalaman mereka ketika  
mengajar setahun di tempat mereka mengabdi, satu di antaranya di Papua. 
 Sebagai orang Papua saya diminta menceritakan kondisi pendidikan di  
Papua. Banyak sekali keprihatinan, suka, duka mereka ketika mengajar di 
 Papua. Mereka menceritakan banyak hal soal kondisi pendidikan riil di  
Papua menurut apa yang sudah mereka lihat dari kacamata pendidikan dan  
apa yang sudah mereka buat di Papua.
Mereka
 menceritakan pengalaman-pengalaman mereka sebelum seleksi SM3T  dengan 
latihan naik gunung, melewati rawa, melewati sungai, dan masih  banyak 
lagi. Ada sebuah cuplikan video yang mereka putar pada saat itu  dan ini
 menarik untuk disimak soal pendidikan yang mereka berikan untuk  murid 
orang asli Papua. Dalam video itu, beberapa dari mereka  mengajarkan 
bernyanyi “Gundul-Gundul Pacul”, “Lagu Indonesia Raya”
  dan sebuah lagu yang berasal dari daerah Kalimantan. Mereka 
mengajarkan  tentang pendidikan dan keadaan di luar Papua. Dari 
pertemuan ini,  setelah berpikir kembali tentang apa yang mereka lakukan
 di sana, saya  malah menjadi bingung. Apa yang mereka ajarkan di Papua 
sangat  bertentangan dengan kehidupan dan lingkungan sosial orang Papua 
yang  sesungguhnya.
Sekarang kembali
 pada pemekaran yang dibuat pemerintah Indonesia.  Satu alasan penting 
yang sudah diuraikan di atas, bahwa setelah adanya  pemekaran di Papua 
orang asli Papua dibentuk untuk tidak menjadi guru. 
Proses itu 
diteruskan dengan bergulirnya program pemerintah Indonesia  berupa 
program transmigrasi besar-besaran mulai dari Orde Lama, Orde  Baru, 
hingga Reformasi saat ini. Demikian juga dengan program-program  seperti
 SM3T dan Indonesia Mengajar yang berjalan hingga sampai  sekarang. Lalu
 bagaimana dengan generasi Papua yang mau menjadi guru dan  mengajarkan 
tentang pola kehidupan mereka sendiri? Ini menjadi  pertimbangan besar 
setelah semua dibuat konstruktif dan sistematis oleh  pemerintah 
Indonesia.
Dari pengalaman yang 
sudah diceritakan di atas, -pelajaran yang dapat  dipetik adalah 
bagaimana guru-guru dari program SM3T dan Indonesia  Mengajar menerapkan
 pola pendidikan yang bertentangan jauh dari  kehidupan sosial budaya 
masyarakat yang sesungguhnya. Dan ini  menyingkirkan dan memerosotkan 
nilai, budaya, dan sejarah orang Papua  yang sesungguhnya. Apakah yang 
harus dipersalahkan adalah model  pelatihan mereka sebelum 
diberangkatkan? Ataukah mereka harus diseleksi  selama satu tahun untuk 
mengenali bumi Papua yang sebenarnya? Ini harus  dilakukan supaya kita 
dapat memahami secara seksama terlebih dahulu  kondisi masyarakat dimana
 mereka ditempatkan. Memang, pendidikan di  Papua sangat tidak 
membebaskan.
TNI Menjadi Jawaban Dalam Pendidikan, Ironis!
Sejak
 1 Mei 1963, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui UNTEA  menyerahkan
 Papua kepada Indonesia demi persiapan New York Agreement  (Pepera 
1969). Tetapi setelah penyerahan tersebut, cepat-cepat Amerika  
menandatangani kontrak pertama PT Freeport pada tahun 1967, sebelum  
dilakukannya Pepera 1969, tanpa melibatkan orang Papua sebagai pemilik  
hal ulayat atas tanahnya sendiri.
Setelah
 itu, Tentara Nasional Indonesia (TNI) melakukan  penyisiran-penyisiran 
dan kekerasan-kekerasan terhadap rakyat Papua,  sebelum persiapan Pepera
 1969. Hingga tahun 1969, Pepera dilakukan  dengan banyak sekali 
pelanggaran yang dibuat oleh ABRI (TNI). Hingga  Papua diserahkan secara
 paksa, masuk ke dalam wilayah Negara Kesatuan  Republik Indonesia 
(NKRI).
Dalam sejarah singkat ini, 
yang saya mau sampaikan adalah bagaimana  kawan-kawan mahasiswa dan 
masyarakat non-Papua bisa memahami sejarah  orang Papua yang 
sesungguhnya. Seperti yang sudah dijelaskan di atas,  TNI hadir di atas 
tanah Papua menjadi trauma masa lalu orang Papua yang  dilakukan pada 
Mei 1963, Pepera 1969, bahkan hingga saat ini.
Hampir
 di seluruh tanah Papua, TNI jadi aktor pembunuhan. Dengan  berbagai 
stigma yang mereka berikan hanya karena orang Papua berambut  gimbal 
maka mestilah ia separatis. Orang Papua yang mengajarkan budaya  mereka 
dikatakan separatis, orang Papua yang melanggar birokrasi  pemerintahan 
Indonesia dituduh makar dan lain sebagainya. Bukan hanya  TNI, Polri 
juga ikut-ikutan melakukan berbagai pelanggaran terhadap  kemanusiaa di 
Papua.
Ketakutan tersebut berdampak 
pada guru-guru orang Papua yang masih  tersisa dan disingkirkan oleh 
pemerintah Indonesia. Kurangnya jumlah  tenaga pengajar di Papua menjadi
 dalih bagi TNI untuk menjadi guru  pengganti bagi orang asli Papua. 
Semua dibuat sistematis dan orang Papua  sendiri akan saling menyalahkan
 satu sama lain.
Program SM3T dan 
Indonesia mengajar di Papua sejalan dengan proses  pendidikan yang 
dilakukan oleh TNI. Kalau pandangannya seperti ini, maka  jelas sekali 
bahwa program semacam ini bukanlah jawabannya. L alu mau  dikemanakan 
orang Papua? Konteks pendidikan membenarkan kenyataan yang  realistis 
saat ini di Papua. TNI datang mengajar, konsekuensinya  guru-guru orang 
asli Papua pun tersingkirkan.
Sekarang
 kalau diamati, soal pendidikan yang diberikan TNI pada para  pelajar 
Papua, jauh dari penerapan pendidikan yang sesungguhnya mesti  
membebaskan. Pendidikan berkurikulum saja menjadi masalah apa lagi TNI  
yang mengajar dengan pola mereka yang represif. Yang diajarkan pun  
paling-paling sekedar cara menyanyikan lagu Indonesia Raya, latihan  
baris-berbaris, berhitung, dan lain-lain. Semuanya menjauhkan segala  
bentuk budaya dan sejarah orang Papua. Kenyataan ini terjadi di  
pegunungan Papua, seperti Puncak Papua, Merauke, Puncak Jaya, Wamena,  
dan beberapa daerah terpencil lainnya di Papua.
Kesimpulan
Dari
 beberapa uraian singkat di atas, jelaslah bahwa pendidikan di  Papua 
saat ini dalam sebuah proses pemusnahan pada subjek manusia Papua. 
Pemusnahan watak, cara, dan perilaku orang Papua dengan berbagai  
program, kebijakan, dan Undang-Undang yang dibuat berdasarkan  
kepentingan pemerintah Indonesia. Proses panjang tersebut, harus  
dipatahkan dengan pendidikan yang membebaskan dan radikal.
Satu
 hal penting yang perlu untuk kita orang Papua   pahami adalah sama 
seperti yang diungkapkan oleh Pdt. I.S. Kijne  dikutipan di atas. Sampai
 saat ini menjadi keyakinan orang Papua tentang  hal ini. Orang Papua 
tidak akan berkembang dan bangkit, ketika mereka  masih dipimpin orang 
lain. (Koteka Son)
Sumber : https://www.facebook.com/notes/koteka-son/pemekaran-dan-proses-pemusnahan-manusia-papua-melalui-pendidikan/119459461767413
Sumber : https://www.facebook.com/notes/koteka-son/pemekaran-dan-proses-pemusnahan-manusia-papua-melalui-pendidikan/119459461767413


Post a Comment