LATEST UPDATES

Wednesday, January 6, 2016

Jalan Papua, Jalan Raya Pos, Jalan Genosida

Selama menjadi Presiden, daerah Papua tampaknya menjadi perhatian besar Jokowi. Saya kira, ini adalah daerah Indonesia yang paling sering dia kunjungi sebagai presiden. Dalam kunjungan terakhir, dia meresmikan banyak proyek, persis seperti yang sebelumnya.
Dalam kunjungan kali ini, Jokowi sama sekali tidak membicarakan kondisi politik Papua. Dia tidak menanggapi penembakan oleh aparat Indonesia pada awal bulan Desember. Pun dia tidak menanggapi penembakan terhadap polisi beberapa hari sebelum dia datang. Rupanya, ini semua sudah dia anggap selesai teruta dengan pembebasan secara simbolik beberapa tahanan politik (yang didalam masih banyak sebenarnya).
Dia juga tidak berbicara tentang kematian anak-anak di kabupaten Nduga. Bahkan, ketika dia menanam kapsul ilusi 70 tahun Indonesia ke depan di Merauke, Papua sama sekali tidak ada didalamnya.
Satu hal yang ditekankan oleh Jokowi dalam kunjungannya ini adalah pembangunan infrastruktur. Dia berjanji akan membangun jalan-jalan yang menghubungkan kota-kota di Papua. Bahkan pembangunan jalan kereta api akan dimulai tahun ini di Sorong. Entah kemana kereta api ini akan melaju.
Dia juga meresmikan pabrik sagu terbesar di tanah air. Di koran-koran, saya baca paparan optimisme para petinggi pabrik sagu itu. Orang-orang lokal bisa mendapatkan Rp 120 ribu per hari dengan menyetor satu batang pohon sagu ke perusahaan. Hidup tiba-tiba menjadi sangat, teramat sangat indah di dearh Kias, Sorong Selatan.
Di media-media sosial, seperti biasa, orang berdebat. Banyak orang mengkritik langkah Jokowi ini. Lebih banyak lagi yang mendukung. Katanya, Papua dibangun, salah. Kalau tidak dibangun, dibilang menelantarkan.
Benarkah disitu letak persoalannya? Satu hal mendasar yang tidak pernah diakui oleh Jakarta adalah bahwa masalah Papua adalah masalah politik. Pembukaan besar-besaran Papua hanya akan berakibat musnahnya bangsa Papua. Pembangunan jalan-jalan ini hanya akan memudahkan arus migrasi dari luar masuk ke Papua, menjadikan bangsa asli Papua sebagai minoritas di tanahnya sendiri, dan kemudian memusnahkannya. Jalan-jalan ini adalah jalan pemusnahan, jalan genosida.
Saya membuat perbandingan sederhana antara Papua dengan Papua New Guinea. Pada tahun 1970, penduduk Papua New Guinea berjumlah sekitar 2,4 juta jiwa. Saat ini (2015), Papua New Guinea memiliki penduduk 7,55 juta jiwa. Papua pada tahun 1971 memiliki penduduk 923 ribu jiwa. Kini penduduk Papua (Propinsi Papua dan Papua Barat) berjumlah hanya sekitar 4 juta jiwa (3.5 juta pada menurut sensus tahun 2010. Dari 4 juta jiwa itu hanya setengahnya atau dua juta jiwa adalah penduduk Papua asli. Penduduk Papua New Guinea bertambah tiga kali lipat dalam waktu 45 tahun. Sementara, penduduk di bagian Barat hanya bertambah dua kali lipat. Apa yang menyebabkan? Silahkan mencari jawabnya sendiri. Papua memiliki laju pertumbuhan terbesar di Indonesia, yakni 3% per tahun. Namun itu bukan karena kelahiran tetapi karena migrasi. Pada tahun 2025, diramalkan bahwa penduduk asli Papua hanya akan berjumlah 35% dari seluruh jumlah penduduk. Bahkan bisa kurang dari itu jika migrasi bertambah. Tentu, akan ada migrasi besar-besaran dengan dibukanya jalan raya dan jalan kereta api. Ketika membaca berita-berita tentang keinginan Jokowi membuka jalan ini, mau tidak mau ingatan saya terbang ke dua abad lampau. Antara tahun 1810-1811, Herman Willem Daendels, seorang gubernur Jendral yang diangkat oleh Napoleon menjadi penguasa Jawa membangun apa yang dinamakan “Jalan Raya Pos” atau “De Grote Postweg.” Jalan ini membentang 1,000 kilometer sepanjang pantai utara Jawa dari Anyer ke Penarukan. Jalan Raya Pos ini dibangun selain untuk kepentingan komunikasi (pos) juga untuk kepentingan militer dan, terutama, ekonomi. Tidak lama setelah itu, modal dengan mudah masuk ke Jawa. Tanam-tanaman komoditi ditanam dan ekspor melonjak. Daendels bukan orang baik hati. Dia mempergunakan tenaga kerja paksa pribumi untuk membangun jalan itu. Ribuan penduduk pribumi mati ketika pembangunan itu. Sastrawan besar Indonesia, Pramoedya Ananta Toer, mengisahkan pembangunan jalan ini dengan sangat bagus dalam film dengan judul yang sama, “De Grote Postweg.” Dia menceritakan betapa Tuan Besar Guntur, begitulah Daendels dikenang oleh penduduk pribumi, begitu kejam. Dia memenggal kepala orang-orang yang tidak memenuhi target pengerjaan jalannya. Jokowi kabarnya akan mengerahkan militer Indonesia untuk membangun jalan-jalan di Papua. Tujuh belas tahun yang lalu, para aktivis pro demokrasi bersusah payah untuk memangkas kekuasaan politik dan ekonomi militer. Kini Jokowi menjadikan militer sebagai kontraktor proyek pembangunan jalan yang bernilai trilyunan rupiah ini. Dan, kita belum lagi berbicara tentang kekejaman militer Indonesia terhadap penduduk asli Papua. Mereka sangat sigap untuk membunuh bahkan untuk persoalan-persoalan yang sepele saja. Karena Jokowi adalah boss militer maka mungkin tidak salah bila sekarang dia pun menyandang gelar “Tuan Besar Guntur di Papua.”
Video Jalan Raya Pos bisa dilihat disini: https://www.youtube.com/watch?v=4pJ...

sUMBER : https://www.facebook.com/notes/made-supriatma/jalan-papua-jalan-raya-pos-jalan-genosida/10153848387709508
Share This :

Post a Comment

 

Top